ImamHasan Al Bashri memiliki seorang tetangga nasrani. Tetangganya ini memiliki kamar kecil untuk kencing di loteng di atas rumahnya. Atap rumah keduanya bersambung menjadi satu. Air kencing dari kamar kecil tetangganya itu merembes dan menetes ke dalam kamar Imam Hasan Al Bashri. Namun beliau sabar dan tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali.
ISTIGHFAR atau Astaghfirullah adalah tindakan meminta maaf atau memohon keampunan kepada Allah yang dilakukan umat Islam. Sesungguhnya ia adalah perbuatan yang dianjurkan dan sesuatu amalan penting di dalam ajaran Islam. Bagi memudahkan pemahaman berkaitan mustajabnya amalan istighfar, ulama bernama Ahmad Musthafa al-Maraghi ada menulis kisahnya menerusi kitab Tafsir al-Maraghi. Sebagai umat Islam kita perlu menataati setiap perintah-Nya. Kisah ini wajar menjadi teladan dan ia berkisar tokoh sufi bernama Hasan al-Basri, yang juga anak kepada pembantu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal sebagai penulis al-Quran, Zaid bin Tsabit, manakala ibunya Khairoh pula pembantu seorang isteri Baginda, Ummu ke Basrah pada usia 14 tahun, beliau kemudiannya dikenali sebagai seorang tabi'in iaitu generasi setelah sahabat Rasulullah SAW, sekaligus pernah berguru kepada beberapa sahabat Baginda sehingga muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradaban Islam. Imam Hasan sering didatangi segenap lapisan masyarakat bertanyakan hukum agama dan meminta nasihat. Diceritakan pada satu hari, seorang lelaki telah datang mengadu kepadanya kerana berdepan masalah kelaparan. Beliau dengan penuh hikmah menjawab, “Istighfarlah kepada Allah.” Seterusnya beliau didatangi seorang yang menceritakan masalah yang dilaluinya kerana ketiadaan zuriat. Sekali lagi Imam Hasan menjawab, “Istighfarlah kepada Allah.” Berpegang teguhlah pada al-Quran. Kemudian datang pula seorang lelaki merintih mengenai kebunnya kekeringan kerana musim kemarau. Jawapan sama diulangi dengan penuh hikmah, “Beristighfarlah kepada Allah.” Jawapan Hasan al-Basri menghairankan masyarakat sekitarnya. Salah seorang daripada penduduk itu bertanya, “Beberapa orang lelaki datang dan mengadu pelbagai masalah, tetapi tuan hanya menyuruh mereka semua untuk melafazkan istighfar.” Hasan al-Basri menjawab “Aku sama sekali tidak mengatakan apapun dari diriku sendiri. Sesungguhnya Allah berfirman seperti itu.” Firman Allah yang dimaksudkan oleh Hasan adalah Surah Nuh ayat 10-12. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah bersabda yang bermaksud “Barang siapa melazimkan istighfar, maka Allah akan jadikan jalan keluar dalam setiap kesulitan hidup dan jadikan setiap kegundah-gulanaan menjadi kebahagiaan dan Allah akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.” Hadis Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah Begitu indahnya hidup ini jika dipenuhi dengan amalan-amalan yang sememangnya tersedia dalam kitab suci al-Quran. Yang penting kita mendalaminya dan menyakini setiap isinya kerana pasti ada penyelesaian atas apa sahaja masalah yang dilalui. Nak macam-macam info? Join grup Telegram mStar! Bermuladari kisah kami (penulis) Imam Hasan al Bashri kembali menyuruh orang tersebut "Beristighfarlah kamu kepada Allah". tetapi engkau hanya menyuruh mereka semua untuk membaca istighfar!". Hasan menjawab tenang "Aku sama sekali tidak mengatakan apapun dari diriku sendiri. Sesungguhnya Allah SWT berfirman (seperti itu)". Salah satu tokoh penting dalam dunia Islam adalah Imam Hasan al-Bashri. Ia adalah seorang ulama sufi yang banyak dinukil petuah-petuah bijaksananya. Bila dirunut dari latar belakang keluarganya, Hasan al-Bashri bukanlah anak seorang raja ataupun kalangan tokoh terpandang melainkan hanya seorang anak dari hamba sahaya milik Zaid bin Tsabit. Ayah Hasan al-Bashri bernama Yasar berasal dari daerah Maisan, pinggiran kota Bashrah di negara Irak. Dahulu daerah Maisan ditaklukkan umat islam pada tahun 12 Hijriah di bawah kepemimpinan panglima Khalid bin Walid. Sedangkan, ibunya adalah hamba sahaya milik Ummu Salamah, istri Rasulullah saw. Sejak kecil, Hasan al-Bashri telah mendapatkan berkah doa dan kasih sayang dari para kekasih Allah. Pernah suatu ketika di masa balita, ia ditinggal bekerja oleh ibunya. Iba melihat Hasan al-Bashri kecil menangis maka Ummu Salamah, istri Rasulullah saw pun menimangnya serta menyusuinya. Begitu juga, ketika ia masih kecil Umar bin Khattab mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama kepada anak kecil ini dan buatlah umat mencintainya” Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, [Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], 2007, vol. IV 565. Bila dirunut dari sejarah, Hasan al-Bashri lahir di daerah Rabadzah, sebuah dataran berjarak 170 km dari kota Madinah pada tahun 21 Hijriah. Kemudian, ia dibawa keluarganya ke kota Madinah dan menetap di rumah Ummu Salamah, istri Rasulullah. Secara fisik, Hasan al-Bashri memiliki wajah yang sangat tampan. Diceritakan suatu ketika asy-Sya’bi berpesan kepada Ashim al-Ahwal, “Sampaikan salamku kepada Hasan al-Bashri di kota Bashrah.” Ashim al-Ahwal kebingungan dan menjawab, “Aku tidak pernah mengenalnya”. Maka, asy-Sya’bi menjawab, “Nanti ketika engkau masuk kota Bashrah masuklah ke dalam masjid kota Bashrah, kemudian carilah orang yang paling tampan yang belum pernah engkau temui disana.” “Sungguh aku telah melakukan perintah asy-Sya’bi maka aku melihat Hasan al-Bashri adalah seorang yang sangat tampan yang dikelilingi oleh murid-muridnya di masjid kota Bashrah.” komentar Ashim al-Ahwal. Ulama Multidisiplin Hasan al-Bashri memiliki kecerdasan dan daya ingat yang sangat kuat serta nalar yang sangat tajam. Abu Qatadah al-Adawi mengatakan, “Wajib bagi kalian belajar kepada syekh ini Hasan al-Bashri. Demi Allah, aku melihat Hasan al-Bashri sangat mirip pendapatnya dengan Sayyidina Umar bin Khattab”. Sahabat Anas bin Malik berwasiat, “Wajib bagi kalian belajar kepada Maulana Hasan al-Bashri, maka bertanyalah kepadanya.” Kemudian, ada yang bertanya, “Wahai Abu Hamzah julukan Sahabat Anas bin Malik, mengapa engkau menganjurkan kami bertanya kepada Hasan al-Bashri?” Anas bin Malik menjawab, “Dia menimba ilmu kepada kami, akan tetapi sekarang kami telah banyak lupa sedangkan ia masih mengingat ilmu yang kami ajarkan” Ibnu Abi Hatim, al-Jarh wa Ta’dil, [Beirut Dar Fikr], 1999, vol. III 41. Selain itu, Hasan al-Bashri juga seorang ahli fiqih yang sangat hebat. Syekh Yunus bin Ubaid al-Abidi mengatakan, “Kami telah bertemu dengan banyak ulama, dan tak ada yang lebih unggul dan sempurna ilmunya melebihi Hasan al-Bashri”. Pernah suatu ketika Imran al-Qashir menanyakan suatu permasalahan dalam ilmu fiqih kepada Hasan al-Bashri. Maka, Hasan al-Bashri menjawab “Sebagian ulama fiqih menjawab seperti ini dan sebagian yang lain berpendapat seperti ini. Ketahuilah bahwa seorang ahli fiqih sejati adalah seorang yang zuhud di dunia, yang waspada dalam menjaga agamanya, dan senantiasa beribadah kepada Allah”. Lihat kitab Hilyatul Auliya’ karya syekh Abu Nu’aim al-Ashbihani cetakan Maktabah at-Taufiqiyyah Kairo 2007 Dalam ilmu Hadits, Hasan al-Bashri dinilai perawi yang tsiqqah terpercaya khususnya dalam hadits yang ia riwayatkan dari Samurah bin Jundub. Akan tetapi, ada banyak hadits yang ia riwayatkan lemah karena cacat berupa tadlis tidak menyebutkan beberapa perawi di atasnya ataupun mursal tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat khususnya yang ia riwayatkan dari Abu Hurairah. Syekh Syamsuddin adz-Dzahabi, Mizal al-’Itidal fi Naqd ar-Rijal, [Kairo Muassasah ar-Risalah], 2017 383. Berguru pada para Sahabat Nabi Di antara guru-gurunya dari golongan sahabat nabi adalah Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Menurut Ibnu Hibban, Syekh Hasan al-Bashri telah menimba ilmu kepada 120 tokoh dari golongan sahabat. Ibnu Hibban, ats-Tsiqqat [Beirut Dar Fikr], 1996, vol. IV 123. Di antara petuahnya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah “Ingatlah! bahwa berpikir sebelum mengambil keputusan akan mendatangkan kebaikan dan menyesali perbuatan dosa akan menjauhkan dari keburukan. Waspadalah dengan kenikmatan dunia karena ketenteraman di dalamnya hanyalah semu, angan-angan meraihnya adalah racun, puncaknya adalah keburukan. Adakalanya nikmat dunia menggelincirkan dari ketaatan kepada Allah. Adakalanya nikmat dunia adalah musibah yang merusak agamamu. Waspadalah, sungguh Allah akan membalas hambanya yang taat dan menyiksa hambanya yang durhaka.” “Ingatlah! Allah telah menjadikan kenikmatan dunia sebagai ujian bagi para nabi dan rasul serta pelajaran bagi umatnya. Sungguh orang yang lalai lagi durhaka kepada Allah menyangka bahwa mereka sedang dimuliakan Allah dengan kenikmatan dunia padahal ketika itu mereka sedang dijauhkan dari mengingat Allah. Ingatlah! Waktu adalah seorang tamu yang datang kepadamu dan ia akan berlalu meninggalkanmu. Seandainya engkau memuliakan waktu dengan beribadah dan berbuat baik niscaya waktu akan menjadi saksi kebaikanmu di hari kiamat. Dan seandainya engkau menghinakan waktu dengan bermaksiat dan berbuat buruk niscaya ia akan menjadi saksi keburukanmu di hari kiamat.” “Ingatlah! Sisa umur yang tersisa bagimu di dunia tak ternilai harganya dan tak dapat tergantikan dengan yang lain. Dunia dan seisinya tak akan mampu menyamai nilai satu hari yang tersisa dari usiamu. Maka, jangan engkau tukar sisa usiamu yang sangat bernilai dengan kenikmatan dunia yang hina. Koreksilah dirimu setiap harinya, waspadalah atas kenikmatan dunia, jangan sampai engkau menyesal ketika telah datang ajal kematianmu. Semoga nasehat ini bermanfaat bagi kita dan Allah berikan kita akhir hidup yang baik” Syekh Abu Nu’aim al-Ashbihani, Hilyatul Auliya’ [Kairo Maktabah at-Taufiqiyyah], 2007, vol. II 128. Hasan al-Bashri mewasiatkan, “Seandainya engkau tak mampu berpuasa di siang hari dan engkau tak mampu menjalankan shalat malam. Ingatlah! Engkau sedang terbelenggu oleh dosa dan maksiat.” Tokoh kita satu ini wafat pada tahun 110 Hijriah di kota Basrah. Diceritakan, suatu ketika Malik bin Dinar pernah bercerita tentang mimpinya bertemu Hasan al-Bashri. Dalam mimpi itu Hasan al-Bashri memakai pakaian yang sangat indah dan bersinar wajahnya. “Bukankah engkau telah wafat? Lantas apakah yang membuatmu diberikan Allah derajat yang tinggi ini?” tanya Malik bin Dinar. Hasan al-Bashri menjawab, “Aku diberikan Allah derajat orang-orang yang bertakwa karena rasa sedihku atas dosa-dosa yang aku lakukan. Katahuilah bahwa orang yang banyak bersedih atas dosa-dosa yang dia perbuat akan mendapatkan banyak kebahagiaan di akhirat” Syekh Jamaluddin Ibnu Jauzi, Hasan al-Bashri, Zuhduhu wa Mawa’idzuhu [Beirut Dar an-Nawadir], 2007 32. Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo
LaluHasan Al Basri menasehatkan, "Beristighfarlah kepada Allah". 8. Keberkahan bumi Sementara dosa-dosa itu terhapus dengan istighfar. Banyak kisah para ulama mengenai terkabulnya doa orang yang banyak beristighfar ini. Bahkan kadang cara pengabulannya unik dan tak disangka-sangka. Seperti seorang laki-laki yang banyak beristighfar
OLEH HASANUL RIZQA Hasan al-Bashri 642-728 merupakan seorang ulama besar pada era sahabat Nabi. Tokoh yang menekuni jalan sufi itu menjadi penerang umat pada masanya dan generasi-generasi kemudian. Cahaya Ilmu dari Era Sahabat Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan Islam tidak mengalami perlambatan. Sebaliknya, pengaruh dakwah justru terus meluas. Cakupan syiar agama tauhid tidak hanya menyinari Jazirah Arab, tetapi juga negeri-negeri di sekitarnya, seperti Mesir, Syam, dan Mesopotamia Irak. Tumbuhnya peradaban Islam dalam masa 100 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW terjadi melalui perjuangan bersama. Penggerak utamanya ialah para sahabat Nabi SAW. Di bawah mereka, terdapat generasi tabiin dan at-tabiit taabi’in. Reputasi ketiga kelompok tersebut bahkan diakui oleh al-Musthafa shalallahu alaihi wasallam sendiri “Yang terbaik dari kalian umat Islam adalah orang-orang yang hidup pada zamanku sahabat, kemudian orang-orang setelah mereka tabiin, kemudian orang-orang setelah mereka at-tabiit taabi’in.” Di Irak, dinamika dakwah berpusat pada beberapa kota. Salah satunya ialah Basrah. Kaum Muslimin, apabila menyebut nama daerah itu pada masa sahabat, pasti teringat pada sosok mulia kebanggaan masyarakat setempat. Dialah Syekh Hasan al-Bashri. Pemilik nama lengkap Abu Said bin Abi Hasan Yasar al-Bashri itu sesungguhnya lahir di Hijaz, bukan Basrah sebagaimana diindikasikan nama gelarnya. Tepatnya, daerah Rabadzah—sekira 170 kilometer dari arah timur Madinah al-Munawwarah—menjadi tempatnya pertama kali menghirup udara dunia pada 21 Hijriyah atau 642 M. Rabadzah kini dikenal sebagai Kota Abu Dzar al-Ghifari karena di sanalah sahabat Nabi SAW tersebut menghabiskan sisa usianya. Menurut Juan Eduardo Campo dalam Encyclopedia of Islam 2009, Hasan al-Bashri berasal dari keluarga bekas tawanan perang. Ayah cendekiawan tersebut merupakan seorang Persia. Sebelumnya, bapaknya itu—bersama puluhan orang Persia lain—ditangkap oleh pasukan Muslimin dalam sebuah perang di Maysan, Irak. Begitu dibawa ke Hijaz, tawanan itu ikut dibebaskan, untuk selanjutnya bekerja pada seorang sahabat Nabi SAW, Zaid bin Tsabit. Adapun ibunda Hasan bernama Khairah. Apabila Abi Hasan Yasar menjadi pembantu Zaid sang sekretaris Nabi SAW, perempuan itu bekerja pada seorang ummul mu`minin, Ummu Salamah. Yasar, dan Khairah kemudian. Selanjutnya, kedua mantan budak itu hijrah ke Madinah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki. Kira-kira sembilan tahun sesudah Rasulullah SAW wafat, lahirlah buah hati mereka. Nama “Hasan” merupakan pemberian dari Ummu Salamah. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Walaupun tidak banyak sumber sejarah tentang masa kecilnya, seperti dikatakan Campo, Hasan patut diduga menerima pendidikan agama dengan baik sekali selama bertempat tinggal di sana. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Sebab, lingkungannya diisi orang-orang yang mulia. Apalagi, ia sendiri besar dengan curahan cinta dan kasih sayang dari para keluarga Ahl al-Bait dan sahabat Rasulullah SAW walaupun dirinya terlahir dari orang tua yang mantan budak. Sebagai contoh, kisah kebaikan dari istri Nabi SAW, Ummu Salamah. Mantan majikan ibunya itu sangat menyayangi Hasan sejak kecil. Apabila Khairah sedang keluar rumah untuk suatu urusan, Hasan yang masih bayi sering merengek mencari-cari ibunya. Ketika itulah, sang ummul mu`minin menggendongnya dan bahkan menyusuinya hingga bayi tersebut tenang kembali. Pernah suatu ketika, Ummu Salamah juga membawa Hasan kecil ke hadapan Khalifah Umar bin Khattab. Sang amirul mukminin kemudian mengelus kepalanya sembari berdoa, “Ya Allah, pahamkanlah dia tentang agama-Mu, dan jadikanlah orang-orang mencintainya.” Sejarah membuktikan, munajat itu dikabulkan Allah SWT. Sang anak akhirnya menjadi seorang ulama besar dari generasi tabiin. Sebelum menapaki masa remaja, Hasan al-Bashri telah menimba banyak ilmu dari kalangan Ahl al-Bait dan para sahabat Nabi SAW di Madinah. Mereka mengenalnya sebagai seorang murid yang cerdas, mudah menyerap pelajaran dan hikmah. Pada mulanya, Hasan kecil belajar di rumah-rumah para istri Rasulullah SAW yang kala itu masih ada—terutama Ummu Salamah. Selanjutnya, ia pun rajin menghadiri pelbagai halaqah yang digelar di Masjid Nabawi. Madinah pada waktu itu dijuluki sebagai pusat kota hadis. Sebab, ada banyak penghafal hadis yang tinggal di sana. Sebagian besar dari mereka pernah mengiringi dakwah Islam sewaktu Rasulullah SAW masih hidup. Karena itu, terasa sekali semangat keilmuan penduduk Kota Nabi. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka, termasuk Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan lain-lain. Begitulah keseharian santri yang berguru pada lebih dari 100 orang sahabat Nabi SAW tersebut. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka. Hijrah ke Basrah Mulai dari masa Khalifah Abu Bakar hingga Umar bin Khattab, umat terus berjuang melawan dominasi Imperium Sasaniyah. Hasilnya, satu per satu wilayah—termasuk Irak—berhasil direbut kaum Muslimin dari tangan kerajaan Majusi itu. Barulah pada era amirul mukminin Utsman bin Affan, seluruh daerah kekuasaan Persia berada dalam genggaman daulah Islam. Dari sekian banyak kawasan di Irak, Hasan al-Bashri menjadikan Basrah sebagai tujuan perjalanannya. Saat berusia 15 tahun, pemuda saleh nan cerdas itu memulai hijrahnya dari Madinah ke kota seluas 75 km persegi tersebut. Secara geografis, Basrah berlokasi di Shatt al-Arab, daerah muara yang mempertemukan aliran Sungai Tigris dan Eufrat. Kawasan tersebut mulanya bernama Ubullah dan dikuasai Sasaniyah. Pada awal 630-an, pasukan yang dipimpin Utbah bin Ghazwan sukses merebutnya. Atas instruksi Khalifah Umar, dibangunlah kamp balatentara Muslim di sana. Sejak saat itu, namanya menjadi Basrah. Seiring runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Seiring dengan runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Reputasi kota tersebut pun kian terkenal sehingga menarik perhatian kaum terpelajar Muslim dari Jazirah Arab untuk mendatanginya. Hasan muda ikut termotivasi untuk tinggal di Basrah. Bahkan, pada akhirnya kota tersebut menjadi tempatnya beramal hingga tutup usia. Karena itu, orang-orang menjulukinya “Syekh Hasan al-Bashri”—Tuan Guru Hasan dari Kota Basrah'. Amal yang dilakukannya tidak hanya pada bidang pendidikan, tetapi juga militer. Bahkan, Hasan tercatat berkali-kali mengikuti jihad fii sabilillah selama bertempat tinggal di sana. Dengan dipimpin al-Muhallab bin Abi Sufra, komandan pasukan Islam di Basrah, anak asuh ummul mu`minin Ummu Salamah itu selalu berada di garis depan dalam tiap pertempuran. Keberaniannya diakui banyak tokoh Muslim sezamannya. Seorang sahabat Nabi SAW, Abu Burdah, memujinya dengan perkataan, “Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan.” Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan. Sejak menjadi warga Basrah, Hasan muda semakin giat belajar. Ia menuntut ilmu-ilmu agama dari banyak ulama besar setempat, termasuk kalangan sahabat Nabi SAW. Seorang gurunya bernama Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas, dirinya menerima ilmu tafsir Alquran, hadis, serta qiraah. Dengan gugurnya Utsman bin Affan pada 656 M, kepemimpinan umat diteruskan kepada Ali bin Abi Thalib. Sang khalifah lantas memindahkan ibu kota dari Madinah ke Irak. Hasan bersama dengan generasi muda Muslimin setempat memanfaatkan perpindahan pusat kekhalifahan itu dengan sebaik-baiknya, yakni menimba ilmu dari sang menantu Rasulullah SAW. Dari Ali, Hasan belajar banyak hal, khususnya ilmu bahasa dan sastra Arab. Di samping itu, dia juga mengagumi sang karamallahu wajhah yang selalu memberi nasihat penuh hikmah. Menjadi ulama Setelah bertahun-tahun menimba ilmu, tibalah saatnya bagi Hasan al-Bashri untuk berkiprah sebagai seorang guru. Saat berusia 40 tahun, dia telah memimpin sebuah halaqah keilmuan di Masjid Raya Basrah. Ada banyak orang yang menjadi muridnya. Mereka tidak hanya berasal dari kota setempat, tetapi juga seantero Irak. Ia menjadi ulama yang paling masyhur di Basrah. Dalam menyampaikan ilmu, Hasan tidak hanya menyasar pikiran, tetapi juga perasaan para pendengarnya. Tidak jarang, jamaah akan meneteskan air mata tatkala menyimak ceramahnya yang penuh hikmah. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Hati siapapun akan tergugah apabila mendengarkan uraiannya. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Pengikutnya tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Para elite pemimpin pun menaruh hormat takzim kepadanya. Hasan sering kali menasihati para amirul mukminin, termasuk yang memimpin dalam era Dinasti Umayyah. Salah seorang penguasa yang pernah diberikannya petuah ialah Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yakni raja kedua Umayyah yang juga cukup lama berkuasa di zaman dinasti tersebut. Ceramah-ceramahnya selalu menarik hati. Sebab, Hasan menggunakan gaya bahasa yang santun serta sangat piawai dalam memanfaatkan kalimat-kalimat sastrawi. Sementara, bangsa Arab mudah terpesona pada estetika bahasa. Beberapa orang, baik yang hidup sezaman maupun sesudahnya, mengabadikan untaian nasihat-nasihat dari sang syekh dalam berbagai buku. Salah satu contoh nasihatnya yang tercatat ialah sebagai berikut. “Wahai anak Adam! Kalian bukanlah apa-apa kecuali hitungan hari. Setiap hari itu lewat, sebagian darimu pun pergi menghilang.” Selain itu “Kematian menunjukkan kenyataan hidup. Tidaklah kematian meninggalkan kebahagiaan kecuali bagi orang-orang yang bijak.” Dalam bahasa Indonesia, bunyi petuah itu barangkali “kehilangan” nuansa sastrawinya. Yang jelas, dalam bahasa aslinya kata-kata tersebut mudah dihapalkan serta amat menyentuh hati. NamaHasan al-Bashri sudah tidak asing lagi di kalangan kaum muslimin. Ia adalah salah satu ulama dari kalangan tabi'in yang dikenal karena lisannya yang penuh hikmah. Kata-kata mutiara nasehat
IMAM Al-Qurthubi menyebutkan sebuah cerita dari Ibnu Shabih, bahwasanya suatu hari ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan Al-Bashri tentang kegersangan atau kemarau panjang yang ia alami. Maka Hasan Al-Bashri berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Lalu datang lagi orang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka ia berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” BACA JUGA Surat Al-Hasan Al-Bashri untuk Umar bin Abdul Aziz Kemudian datang lagi orang lain memohon kepadanya, “Do’akanlah aku kepada Allah, agar Ia memberiku anak!”, maka Hasan Al-Bashri menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah!” Foto Pinterest Hingga ketika datang lagi yang lain mengadu kepadanya tentang kekeringan yang melanda kebunnya, Hasan Al-Bashri tetap menjawab dengan jawaban yang sama, “Beristighfarlah kepada Allah!” Maka Ibnu Shabih bertanya kepadanya, “Banyak orang yang mengadukan macam-macam perkara dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar?” BACA JUGA Nasihat Imam Hasan al-Bashri yang Menggetarkan Jiwa Lalu Hasan Al-Bashri menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Alloh telah berfirman dalam surat Nuh 10-12. “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” QS. Nuh 10 – 12 []
ReadMEDIA KALIMANTAN RABU 22 FEBRUARI 2017 by Media Kalimantan on Issuu and browse thousands of other publications on our platform. Start here!

SUATU ketika datang seseorang kepada Imam Hasan Al-Basri mengadukan masalahnya. Orang pertama datang mengadukan musim paceklik, kemudian Hasan Al-Basri berkata kepadanya “Istighfarlah engkau kepada Allah”. Kemudian orang kedua datang mengadukan tentang kemiskinannya, Hasan Al-Basri juga berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah“. Datang lagi orang ketiga mengadukan kondisinya yang tidak kunjung dikaruniai anak, Hasan Al-Basri berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah.“ BACA JUGA Nasihat Imam Hasan Al-Bashri Datang lagi orang keempat mengadukan tentang kebunnya yang kering, kemudian Hasan Al- Basri berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah.” Semua keluhan dan masalah yang diadukan kepada Hasan Al-Basri dijawabnya dengan “Istighfarlah engkau kepada Allah.” Memperhatikan hal tersebut, al-Rabi bin al-Sabih, murid Hasan Al Basri bertanya kepada beliau dengan sangat penasaran. “Wahai Syaikh Hasan al-Basri, tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa demikian?” BACA JUGA Meski Anak Seorang Budak, Hasan Al-Bashri Jadi Ulama Besar Hasan Al-Bashri menjawab “Aku tidak menjawab berdasarkan pikiranku sendiri, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah mengatakan dalam firman-Nya di Surat Nuh ayat 10-12.” “Maka aku katakan kepada mereka Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” QS. Nuh 10-12

ZhkpERn.